Laman

Kamis, 14 April 2011

HUKUM TATA NEGARA :RESUME TANGGAPAN KELOMPOK III ILMU HUKUM 6

RESUME KOMENTAR MENGENAI
FUNSI DPR DALAM FIT AND PROPER TEST

a  logo uin.jpg
KELOMPOK IV ILMU HUKUM 6
WIRO RYAN ARDIANSYAH
ZAIANAL BASRI
ZAINUDDIN
ZULFIKAR MUIS
ZULKIFLI AMIR

TAHUN AJARAN 2011/2012 UIN ALAUDDIN MAKSSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
       Pada kesempatan sosialisasi tahap pertama ini ada enam bab yang akan dibicarakan, yaitu Bab I sampai dengan Bab VI. Bab I mengenai Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah. Bab II mengenai Penyidik dan Penuntut Umum. Bab III mengenai Penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Bab IV tentang tersangka dan terdakwa. Bab V tentang bantun hukum dan terakhir Bab VI mengenai sumpah atau janji.
      Sosialisasi tahap kedua membicarakan Bab VII sampai dengan Bab XIII. Bab VII mengenai wewenang pengadilan untuk mengadili, Bab VIII mengenai Tindak Pidana yang dilakukan oleh seorang sipil bersama anggota TNI dan Bab IX mengenai Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Bab X mengenai Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian, Bab XI mengenai Penyidikan dan, Bab XI mengenai Pengadilan. Bab XII mengenai Penuntutan dan Bab XIII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
  Sosialisasi tahap ketiga membicarakan Bab XIV sampai dengan Bab XIX. Bab XIV mengenai Upaya Hukum Biasa, Bab XV mengenai Upaya Hukum Luar Biasa dan Bab XVI mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Bab XVII mengenai Pengawasan dan pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Bab XVIII mengenai Ketentuan Peralihan dan Bab XIX mengenai Ketentuan Penutup.
        Menyangkut pengertian istilah ada beberapa hal yang telah diperbaiki, misalnya tentang pengertian penuntutan, karena penuntutan itu tidak hanya perbuatan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum, tetapi menyangkut kebijakan penuntutan, apakah suatu perkara dituntut ataukah tidak. Jika tidak dituntut sedangkan cukup bukti berarti penerapan asas oportunitas, yang bisa dengan suatu syarat ataukah tanpa syarat. Jadi, system acara pidana kita mengenai penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dapat dilekatkan suatu syarat. Misalnya, tidak dituntut tetapi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian. Dunia mengenal penerapan asas oportunitas dengan syarat, yang di Indonesia juga dilakukan dengan nama schikking. Ini berarti penuntutan artinya luas, bisa pengadilan bisa juga penyelesaian di luar pengadilan. Istilah yang dipakai ialah “the public prosecutor may decide-conditionally or un conditionally – to make prosecution to court or not”.
  Di dalam pengertian istilah ini sudah dimasukkan pula pengertian hakim komisaris menyangkut hal-hal baru mengikuti perkembangan zaman seperti penggantian lembaga praperadilan menjadi hakim komisaris dengan wewenang yang lebih luas dan konkret.
  Sebenarnya dalam rancangan KUHAP dulu yang diilhami oleh Prof. Oemar Seno Adji, sudah dicantumkan lembaga hakim komisaris itu. Namun mungkin dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan sektoral yang marak pada zaman Orde Baru, maka lembaga itu diganti dengan praperadilan yang wewenangnya sangat minim.
              Hakim komisaris ini diartikan “pejabat yang diberi wewenang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenanng lain yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
  Disamping itu dilakukan perbaikan-perbaikan redaksional yang selaras dengan doktrin ilmu hukum acara pidana dan hukum pidana. Ada beberapa rumusan yang tidak sesuai dengan doktrin hukum pidana dan hukum acara pidana, misalnya saja tentang pengertian putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula tentang putusan hakim yang dapat dibanding, dikasasi dan ditinjau kembali. Yang belum masuk ke dalam daftar pengertian istilah, tetapi berada di belakang.
  Ada pula yang belum diatur sama sekali, misalnya dalam hal apa tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Dalam pengaturan PK muncul jenis putusan “tuntutan penutut umum tidak dapat diterima,” padahal di bagian depan sama sekali tidak diatur kapan tuntutan penuntut umum dapat diterima. Pada saat hakim menerima berkas perkara dari penuntut umum sebenarnya harus diteliti terlebih dahulu apakah cukup alasan untuk menyidangkan perkara tersebut. Jika misalnya suatu delik aduan diajukan oleh penuntut umum tetapi tidak disertai dengan surat pengaduan, maka mestinya langsung hakim mengeluarkan penetapan “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. Hal yang sama jika perkara itu berlaku neb is in idem, perkara telah verjaard, yang didakwakan penuntut umum bukan tindak pidana, dan seterusnya.
  Ada pula perubahan yang sebenarnya sama dengan Rancangan KUHAP dulu namun PANSUS di DPR pada waktu itu kurang mengetahui tentang perkembangan hukum acara pidana, tanpa studi banding sebelumnya, sehingga tercantum dalam rancangan tersebut, yang disusun oleh Prof. Oemar Seno Adji yang kaya akan literatur hukum pidana dan acara pidana, tidak dapat dimengerti atau disalah mengerti sehingga diubah sesuai dengan feeling semata, tanpa dicek secara akademik, misalnya tentang alat-alat bukti tetap mengikuti HIR yang kuno itu.
II.FOKUS MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Kajian mengenai funsi DPR.
2.      Kajian mengenai fit and proper test DPR.
3.      Kajiaan tentang ikut campurnya partai politik dalam hal fit and proper test.

C. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan yang diidam-idamkan, dalam penelitian makalah ini, penulis menggunakan penelitian dengan metode penelitian perbandingan dan normatif yang meliputi:
1. Pendekatan Masalah:
Cara ini adalah dengan meneliti setiap pasal perpasal kejadian dan kejadian atau fakta fakta yang terjadi di  dan dalam pemerintahan ini.
2. Analisis Bahan Hukum
Apabila penulis tidak menemukan sumber pasal tersebut dari berbagai kitab undang undang maka penulis mencari dengan pendekatan realita dimasyarakat.
3. Sumber Bahan Hukum
Sebagai sumber hukum dalam melengkapi makalah ini dibutuhkan bahan hukum yang bersifat primer dan sekunder:
a.       Sumber bahan hukum yang bersifat primer itu diambil dari kitab-kitab undang undang
b.      Sumber hukum yang bersifat sekunder itu diambil dari berbagai kejadian.








BAB II
PEMBAHASAN

I.PENDAHULUAN
         Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.

          Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

     Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik  (Socio  Political  Sphere)  selaku  pemilik  kedaulatan  (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty),  terdapat  hubungan  yang  saling  menentukan  dan  saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga negara.
       Untuk memahami kedudukan dan hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus memahami konteks sejarah dan suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga negara dapat dilihat dari konteks negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam konteks negara dapat diketahui melalui sistem  dan mekanisme  penyelenggaraan  pemerintahan  yang  berlaku sebagaimana yang dianut dalam UUD NRI 1945. dalam konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja Infra Struktur Politik masyarakat yang meliputi partai politik (political party), golongan kepentingan (interest group), golongan penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media political communication), dan tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan- kebijakan penyelenggara negara.
II.  LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
        UUD 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga  negara.  Dengan  penegasan  prinsip  tersebut,  sekaligus  untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.

Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

A.   Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sebelum Perubahan UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR memiliki  tugas  dan  wewenang  yang  sangat  besar  dalam  praktek penyelenggaraan negara, dengan kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR disebut sebagai “lembaga tertinggi negara”, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang hierarki hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang.

Setelah Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam sistem ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling mengimbangi.

Saat ini, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi  keanggotaan  tersebut  sesuai  dengan  prinsip  demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representation by election).

Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:

mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;

memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;

memilih  Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.


B.  Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.

Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam pemilu, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.

Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945 bahwa DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif).
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di  tangan  Presiden  dialihkan  kepada  DPR,  merupakan  langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.

Dengan  pergeseran  kewenangan  membentuk  undang-undang  itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki fungsi yang diatur secara eksplisit  dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran  mempertegas  kedudukan  DPR  untuk  membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).

Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak  berdasarkan  undang-undang.  Ketentuan  itu  juga  sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
II.Tanggapan
     Sesuai dengan realita yang terjadi di Negara ini, mengenai fungsi control DPR atas hak prerogativ presiden yang terbagi atas fungsi persetujuan dan fungsi pertimbangan. Seakan-akan tidak berjalan sesuai dengan tujuannya.
Fungsi persetujuan yang mengatakan fungsi ini sebagai fungsi yang mengikat “jika DPR menolak , berarti presiden tidak dapat memaksakan calonnya.
Yang jadi pertanyaan,apa itu benar terjadinya?

DPR khususnya komisi C yang memegang kendali untuk melakukan tes kelayakan (fit and proper test) untuk menduduki jabatan tertentu pada suatu instansi negara. Apakah sudah menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya?
Dan apakah anggota DPR memang pantas untuk melakukan itu?
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar fit and proper test  atau uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Kepolisian Komisaris Jenderal Timur Pradopo pada hari Kamis 14 Oktober 2010. Uji kelayakan ini dilakukan setelah Tim Kecil Komisi III  mengumpulkan aspirasi masyarakat.
Pada Rabu kemarin, Komisi III telah mengundang Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sorenya, Tim Kecil mendatangi kediaman pribadi Timur Pradopo di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Dengan melihat ilustrasi ini DPR sudah bekerja sesuai fungsinya.
Kejadian selanjutnyalah yang menjadi suatu problem .
Pada hari kamis mulai pukul 09.00 sampai 17.00, baru digelar fit and proper test terhadap calon pengganti Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini. Namun Wakil Ketua Komisi III, Tjatur Sapto Edy, menyatakan, Timur Pradopo baru diuji pada pukul 11.00 ini. "Untuk pukul 09.00, internal Komisi dulu," katanya kepada VIVAnews, Kamis pagi ini.
"Dalam fit and proper test, semua anggota diberi hak menyampaikan pertanyaan atau pendapat berkaitan dengan calon untuk kemudian fraksi-fraksi mengambil sikap berkaitan dengan calon yang bersangkutan," kata Benny K Harman, Ketua Fraksi Demokrat.

"Mekanisme pengambilan keputusan adalah musyarawah dan mufakat. Kami akan melakukan lobi apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai. Jika lobi tidak tidak tercapai juga, akan ditempuh voting. Kami sepakat untuk menghindari voting, tapi kalau diambil, itu adalah jalan demokratis yang sah, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib dewan," ujar Benny.

Problema yang timbul adalah, apakah pantas Anggota DPR yang mungkin sebagian besar hanya tamatan SMA atau biasa dikatakan pengetahuan mereka masih dangkal tetang pengetahuan militer berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menuntukan kelayakan seseorang yang Notabene seorang Jendral besar.Jadi yang perlu diperhatiakn pemerintah kita sekarang yaitu tentang bagaimana seorang anggota DPR memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi minimal strata 1 agar dapat menunjang kinerja DPR dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk memperketat fit and proper test dalam DPR tidak boleh ada campur tangan partai politik,seperti beberapa kasus yang terjadi di tanah air ini.
Dari pembahasan saudara (i)  tiu dapat menimbulkan pertanyaan diantaranya:
1.Seharusnya dalam undang undang mengenai fungsi DPR dalam hal fit and proper test itu diatur tentang batasan tingkat pendidikan yang telah dicapainya,minimal starata (1).
2.Setiap anggota DPR memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai fungsi dan tugasnya.
3.Dituntut agar setiap anggota DPR memiliki akhlak yang baik (akhlatul qarimah) dalam hal tugasnya maupun dalam hal fungsinya



III. PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas  tertentu  sama  dengan  proses  legalisasi  kearah  perilaku penyimpangan.
Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan, terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.

Model  sistem  penyelenggaraan  negara  oleh  lembaga  negara menggambarkan model interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan dalam konsep fungsional.

Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi tindak lanjut.

Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi dalam kesatuan sumber yang secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat dikontrol oleh semua pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua penyelenggara negara adalah bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam rangka mengupayakan penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab serta mampu mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.

Penyelenggaraan negara yang aktif dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada struktur kelembagaan akan menjadikan pola teknis operasional yang merupakan terobosan penting dalam perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada hukum. Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan melalui pembenahan sistem yang transparan dan mampu mengubah sistem yang dipandang dapat mencemari penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen.

Terkahir, kesadaran kolektivitas dari penyelenggaran negara dan masyarakat untuk membangun sistem penyelenggaraan negara yang transparan menjadi syarat mutlak berhasilnya suatu negara. Penyelenggara negara dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan dalam rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan serta tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya membangun dan kontrol akan membangun sistem dan mekanisme yang bertanggung jawab. Kesadaran kolektifitas dari masyarakat, kelompok, dan organisasi sosial akan membangun kerangka struktural fungsional yang optimal dan menunjang upaya mengedepankan kedaulatan rakyat dalam kerangka negara hukum.   







Tidak ada komentar:

Posting Komentar