Laman

Minggu, 17 April 2011

hukum perkawinan


LARANGAN DALAM PERKAWINAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN MENURUT UNDANG UNDANG


a  logo uin.jpg
KELOMPOK 12
ZULFIKAR MUIS
ZAINUDDIN
ZULKIFLI AMIR

(HUKUM PERKAWINAN)


UIN ALAUDDIN TAHUN AJARAN 2011/2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.
Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh produk rakyat Indonesia. Walau bagaimanapun, lahirnya KHI tidak bebas dari pro dan kontra. Buktinya ada beberapa tokoh yang memprotes isi dari KHI karena dianggap tidak benar-benar fiqh murni.
Padahal, menurut catatan H. Abdurrahman, SH. MH.; KHI adalah produk hukum fiqh yang telah melewati beberapa cara dan tahap. Salah satu yang paling penting adalah ia merupakan rujukan dari kitab-kitab fiqh Islam dan diteliti oleh sarjana fiqh dan ulama Indonesia tertentu. Dari sekian tahap yang telah dilalui dalam penyusunan KHI, bagaimana mungkin KHI dianggap masih belum benar-benar fiqh murni.
Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling utama dan yang paling penting dalam kehidupan muslim adalah buku pertamanya yaitu tentang perkawinan.
                   Di dalam pembahasan ini, pembahasan yang paling pokok adalah larangan perkawinan. Maka larangan perkawinan inilah yang menjadi pembahasan kami di dalam tulisan ini. Agar dapat memberikan problema solvin yang ada pada masyarakat dalam realita adat istiadat.
                   Dengan itu masyarakat dapat lebih memahami apa itu sebenarnya hukum baik dalam substansi hukum positif maupu substansi KHI tentang perkawinan.

B.Fokus Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1 Kajian UU No.1 tahun 1974.
2. Kajian Pasal 39 ayat 1(Karena Pertalian Nasab)
3. Kajian Pasal 39 Ayat 2 (Karena Pertalian Kerabat Semenda)
4. Kajian Pasal 39 Ayat 3 (Karena Pertalian Sesusuan)

C. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan yang diidam-idamkan, dalam  makalah ini, Kami menggunakan metode penelitian dan pengkajian yang bersifat normatif dalam setiap sumber baik itu dalam undang-undang yang ada dalam hukum positif maupun dalam kompilasi hukum islam (KHI) meliputi:
1. Pendekatan Masalah:
Cara ini adalah dengan meneliti dan mencari setiap pasal-perpasal, jika tidak ada di dalam aturan yang telah ditetapkan lalu dicarikan sumbernya dari berbagai kitab-kitab fiqh yang dapat diakses dengan pendekatan kajian pustaka (library research).


2.Analisis Bahan Hukum
           Apabila Kami tidak menemukan sumber pasal tersebut dari berbagai kitab undang-undang yang dapat diakses, maka Kami akan mengkajinya dengan metodelogi `usûl al-fiqh dan dalam  KHI sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam metodelogi tersebut sebagaimana yang telah diatur ulama terdahulu. Batasan kami di dalam menghukumi rusaknya pasal tersebut hanya akan diputuskan apabila tidak terdapat di dalam kitab fiqh dan secara `usûl al-fiqh juga tidak terpenuhi dan apabila ia ternyata telah menyalahi ijmak ulama terdahulu sebagaimana larangan di dalam menyalahi ijmak di dalam Islam.
3. Sumber Bahan Hukum
Sebagai sumber hukum dalam melengkapi makalah ini dibutuhkan bahan hukum yang bersifat primer dan sekunder:
a. Sumber bahan hukum yang bersifat primer adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang atau dokumen rasmi pemerintah Republik Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan, kitab-kitab `ushûl al-Fiqh maupun lainnya yang mendukung, dan buku-buku penjelasan UU perkawinan serta KHI yang dapat diakses.

b. Sumber bahan hukum yang bersifat sekunder itu diambil dari undang-undang kompilasi huku islam kitab-kitab furû’iyyah fiqhiyyah, fatâwâ ‘ulamâ` dan qânûn `islâm dari berbagai mazhab fiqhi












BAB II
PEMBAHASAN

1.Kajian UU No.1 1974 Tentang Perkawinan
    Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumahtangga yang bahagia yang kekal berdasarkan KeTuhanan Yang  Maha Esa.
    a.Ikatan lahir  adalah hubungan hukum antara seorang peria dengan seorangwanita  sebagai suami-istri.
b.Ikatan bathin adalah ikatan yang tak tampak namun ikatan ini tidak ada maka ikatan lahir akan rapuh.

Tujuan perkawinan menurut UU No.1 1974
Untuk membentuk keluarga yang bahagia ini barmakana bahwa perkawinan itu berlangsun seumur hidup dan tidak boleh putus kecuali disebabkan oleh kematian.Ini berarti perkawinan itu adalah hal yang sacral dan tidak boleh main-main di dalamnya
Namun kebanyakan orang menganggap perkawinan itu adalah hanya untuk memuaskan nafsu birahi aliyas Joninya.


Sebagaiman dalam al-quran mengatakan QS An-Nahl (16)72:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ انْفُسِكُمْ أُذْ واجَا وَجْعلَ لَكُمْ مِنْ أُذْواجكمُ بَنيْنَ وَحَفَدَةَ وَرَذَقَكَمْ مِنَ الطَيبَا ت.......  
..”Dan Allah telah menjadikan bagimu pasanganmu dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu anak-anak dan cucu-cucu serta telah memberimu rezeki dari yang baik-baik..”
Larangan perkawinan beda agama menurut UU NO.1 1974 tidak terlalu menekankan dalam hal pelaranganya, namu itu dijelaskan dalam pasal 2 UU No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa:
“Perkawinan sah, apabila dilakukan menurut huku masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Ketegasan perkawinan di tegaskan pula dalam pasal 8 huru (f)dalam UU No.1 tahun 1974 menegaskan bahwa:”...Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,dilarang,kawin..,”
Dari peraturan diatas menegaskan perkawinan yang sama agama, namun terjadinya perkawinan beda agama maka perkawinan tersebut harus di batalkan ,kecuali jika diantara mereka mengikuti salah satunya.
A.Kajian Pasal 39 ayat 1 (Karena Pertalian Nasab):
Pertalian nasab adalah pertalian kerena adanya hubungan darah (Keluarga).
Tentangan pelarangan dalam pertalian nasab yaitu terbagi tiga Ayat diantaranya:
(a).Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkanya atau keturunannya;artinya bahawa seorang anak tidak boleh menikahi orang tuanya maupun sebaliknya orang tua tidak boleh menikahi ananya.
(b).Dengan seorang keturunan wanita keturunan ayah atau ibu artinya seorang anak laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuanya sendiri.
(c).Dengan seorang wanita saudara yang melahirkanya artinyaseorang anak tidak boleh menikah dengan saudara ibu (orang tua).
B.Kajian Pasal 39 ayat 2 (Karena Pertalian Kerabat Semenda)
(a).Dengan seorang Wanita yang melahirkan istrinya atau bekas iastrinya artinya seorang anak tidak boleh menikahi mertuan atau bekas mertua perempuanya.
(b).Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkanya artinya,seorang anak laki-laki tidak boleh menikahi bekas istri bapaknya.
(c).Dengan wanita keturunan istri atau bekas istrinya,kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya  itu qobla al dukhul.artinya anak dari istri bapak yang tidak boleh dinikahi kecuali sang bapak sudah cerai dengan istrinya itu.
(d).Dengan seorang wanita bekas istri keturunanya artinya seorang laki-laki tidak boleh menikahi bekas istri anaknya.
C.Karena Pertalian Sesusuan:
(a).Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurus garis lurus ke atas. Artinya seorang anak tidak boleh menikah dengan garis keturunan ke atasnya artinya keluarga dari  ibu seperti kakek,nenek,kake buyut,dan nenek buyutnya.
(b).Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. Artinya seorang anak tidak boleh menikahi seorang wanita sesusuan (satu sumber susuan) denga garis keturunan kebawahnya (keturunan dari sumber susuan tersebut).
(c).Denagn seorang wanita saudara sesusuan dan kemanakan sesusuan,artinya seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan seorang wanita satu sumber susuan.
(d).Denaga  seorang wanita bibi sesusuan,dan kemanakan sesusuan ke bawah.Artinya seorang anak  tidak boleh menikahi bibi dan kemanakan sesusuan beserta keturunanya.
(e).Dengan anak yang disusui oleh istrinya atauketurunannya.artinya seorang anak tidak boleh menikah dengan satu sumber susuan.
Dari  pasal diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seorang anak tidak boleh manikah
1.Karena adanya pertalian nasab
2.Karena Pertalian kerabat semenda
3.Karena pertalian kerabat sesusuan
   Menurut Ibnu Hattab “..Hubungan darah dapat menimbulkan lemah rohani dan jasmani..”itu berarti dalam pernikahan hubungan darah akan menimbulkan dampak lebih besar dari pada pernikahan tidak ada hubungan darah.Kemudian pernikahan sepersusuan walaupun tidak ada hubungan darah atau keluarga tapi itu dianggap sudah memiliki hubungan darah...Berdasarkan Ilmu ke Dokteran mengatakan seorang anak yang menyusui seorang ibu otomatis susu yang dikonsumsi oleh anak tersebut akan berubah menjadi keping-keping darah setelah melalui peroses/tahap pengolahan makanan+minuman menjadi RNA berubah menjadi DNA dan sebagian menjadi ampas dan ekskresikan melalui anus dan rongga bulu-bulu.
Jika ada persoalan mengenai adanya hubungan darah karena  sepersusuan dan sudah menikah dan memiliki seorang anak kamudian mereka pun tau akan pelarangan itu maka langkah yang harus ditempu adalah menjelaskan semua hal ini pada keluarga dan memberikan pemahaman akan hal ini kemudian mangajukan permohonan Fasaq kapada pengadilan agama(permintaan kedua belah pihak untuk di pisahkan),kemudian mengenai anaknya,itu merupakan hal yang tidak penting dipersoalkan itu tergantung dari anaknya sendiri dan persoalan ini merupakan bukan persoalan perceraian biasa.Dan misalnya hal ini dilanggar maka hubungan mereka adalah haram atau merupakan perbuatan “Zina”.
Kemudian persoalan mengenai seorang perempuan yang akan menikah karena suaminya meninggal dunia (talak Raji) maka perempuan tersebut harus menungguh 4 bulan 10 hari agar tidak ada fitnah dikemudian hari.Jika masalahnya mengenai janda yang akan dinikahi yaitu perempuan tersebut bebas dari pinagan orang lain sesuai dengan KHI pasal 12 ayat 1 “..pada saat dipinang tidak ada halangan hukum yang melarang dilangsungkanya peminangan,pasal 12 ayat 3 dalam  KHI “...perempuan tersebut belum dipinang..”:dan KHI pasal 12 ayat 2 “..Wanita yang sudah ditalaq 3 (3x haid tidak ada rujuk).  




















Kesimpulan
Bahwa sebaik-baik dalam mencari pasangan hidup yaitu sejauh-jauh mungkin dari hubungan keluarga ataupu hubungan darah (sepersusuan) dengan ditelitinya  beberapa hal yaitu telah diteliti tentang 4 faktor seperti,cantiknya,hartanya,keturunannya dan Agamanya serta wanita yang mempunya hubungan darah yang jauh.


DAFTAR PUSTAKA
Yustisia kompilasi hukum perkawinan.Jakarta
Hafidz.Abdul Larangan pernikahan antar agama di Indonesia.Jakarta
Maloko,Thahir perkuliahan hukum perkawinan.Gowa-Samata
Ilmu hukum 5 &6,dkk

  










1 komentar: