Laman

Senin, 18 April 2011

FIT AND PROPER TEST DARI KELOMPOK TIGA DARI ILMU HUKUM ENAM (6)

Tugas
Hukum Tata Negara




FIT AND PROPER TEST DPR


OLEH
TEGAR HENDRAWAN
TRI SUHENDRA ARBANI
TRIANA UTAMI
UNTUNG
WHISNU HAIBIR


ILMU HUKUM FAK. SYARI’AH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSARA
MAKASSAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
    Pada era Orde Baru, panglima TNI dan KOPOLISIAN kerap menjadi sarana pihak eksekutif untuk melanggengkan kekuasaan karena menjadi hak penuh atau prerogative Presiden untuk menentukan pejabat sebuah instansi dalam hal ini TNI dan KEPOLISIAN sebagai contoh langgengnya kekuasaan Presiden Soeharto selama kurang lebih 32 tahun sebagai bentuk karena tidak adanya hak lembaga Legislatif untuk mengintervensi atau memberikan batasan kepada hak prerogative presiden dalam menentukan sebuah pejabat.
Dalam kekuasaan era orde baru ini menimbulkan barbagai macam bentu penderitaan kalangan bawah dan berbagai macam bentuk krisis, dengan tekanan ini membuat berbagai macam organisasi masyarakat dan mahasiswa untuk melakukan gerakan reformasi dan menuntut presiden Soeharto turun dari jabatannya sampai berujung kepada demokrasi. Dalam lingkup demokrasinya menimbulkan berbagai bentuk perubahan yang lebih memperluas kebebasan masyarakat dan mempersempit ruang lingkup penguasa dalam hal ini Presidaen. Sehingga kemudian Dewan perwakilan Rakyat dapat ikut campur dalam hak prerogative presiden untuk menentukan seorang pejabat public. Dengan melalui fit and proper test.
     Istilah fit and proper test sering kita baca atau dengar di berbagai media massa. Fit and proper test diadakan untuk mencari individu yang layak dan pantas untuk menduduki jabatan tertentu. Calon anggota KPK, Hakim Konstitusi, KPID diuji fit and proper test dan yang masih hangat tentu saja fit and proper test untuk memilih gubernur Bank Indonesia (BI) oleh anggota DPR RI. Fit and proper test ini sangat penting karena sebagai revolosi yang harus dilakukan untuk kineja kerja yang baru dan berbeda di tiap bidang maupun instansi yang ada di Indonesia. Agar tiap individu yang dipilih menduduki sebuah jabatan, betul-betul layak dan mampu mengemban tugas dan tanggung jawab mereka sesuai jabatan yang diduduki. Diharapkan agar uji kelayakan seperti ini, terus dikembangkan, diterapkan dan disesuaikan pada bidangnya masing-masing.
1.2 Rumusan masalah
A.    Apakah dapat mempersempit hak prerogative presiden dalam menentukkan pejabat sebuah instansi atau pejabat  di Indonesia?
B. apakah dapat meminimalisasi atau membuka luang masuknya kepentingan politik dilaksanakannya fit and proper test?
C. apakah terdapat perbedaan yang signifikan kinerja instansi di Indonesia sebelum dan sesudah dilakukan fit and proper test ?









BAB II
PEMBAHASAN
Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seleksi pimpinan lembaga Negara atau pejabat sebuah instansi di Indonesia, sebagai bagian dari fungsi kontrol DPR terhadap hak prerogatif presiden dalam menunjuk pejabat publik, dan untuk mencegah intervensi eksekutif dalam lembaga tersebut. merupakan jaminan terhadap demokrasi . Dalam UUD 1945 hasil amendemen dinyatakan keterlibatan DPR dalam seleksi sejumlah jabatan publik.
      Fungsi kontrol DPR atas hak prerogatif presiden terbagi menjadi persetujuan dan pertimbangan.
II.1.      Untuk fungsi persetujuan, bersifat mengikat. Fungsi itu antara lain diterapkan dalam pemilihan Panglima TNI dan KAPOLRI.
"Jika DPR menolak, berarti presiden memang tidak dapat memaksakan calon yang diajukan. ia harus mengajukan nama baru.
      Dari sudut pandang historis maka penentuan pejabat militer dalam hal ini POLISI dan TNI menjadi hak prerogative atau hak penuh presiden (eksekutif) tanpa campur tangan dari lembaga Negara lainnya khususnya Legislatif. Maka dengan kekuasaan presiden semacam ini dapat mengintervensi dan memanfatkan Polisi dan TNI untuk melanggengkan kekuasaannya.
     Dengan carut maruknya intervensi kekuasaan eksekutif dalam hak prerogatifnya maka menimbulkan gerakan reformasi yang berujung kepada demokrasi sehingga membuka peluang legislative untuk ikut menetukan pejabat sebuah instansi atau pejabat public dengan hak pengawasannya melalui fit and proper tes.
    Dalam penentuan pejabat tertinggi untuk Polisi dan TNI calon direkomendasikan oleh Presiden untuk diuji kelayakan dan kepatutan di DPR. Sebagai contoh fit and proper test POLISI dan TNI oleh DPR.
POLISI
    Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar fit and proper test  atau uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Kepolisian Komisaris Jenderal Timur Pradopo pada hari ini, Kamis 14 Oktober 2010. Uji kelayakan ini dilakukan setelah Tim Kecil Komisi III  mengumpulkan aspirasi masyarakat.

      Pada Rabu kemarin, Komisi III telah mengundang Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sorenya, Tim Kecil mendatangi kediaman pribadi Timur Pradopo di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.

   "Dalam fit and proper test, semua anggota diberi hak menyampaikan pertanyaan atau pendapat berkaitan dengan calon untuk kemudian fraksi-fraksi mengambil sikap berkaitan dengan calon yang bersangkutan," kata Benny K Harman, Ketua Fraksi Demokrat.

       "Mekanisme pengambilan keputusan adalah musyarawah dan mufakat. Kami akan melakukan lobi apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai. Jika lobi tidak tidak tercapai juga, akan ditempuh voting. Kami sepakat untuk menghindari voting, tapi kalau diambil, itu adalah jalan demokratis yang sah, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib dewan," ujar Benny.

       Menurut salah satu Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso, pertanyaan yang akan diajukan pada Timur adalah soal kasus Trisakti dan skandal Century. "Dugaan saya kalau bisa jawab pertanyaan seputar Trisakti dan Century dengan baik, Timur akan melangkah dengan melenggang," ujar Wakil Ketua DPR itu. (umi)
Menurut Tjatur, diharapkan hasil dari uji kelayakan calon Kapolri tersebut akan diserahkan ke Rapat Paripurna DPR pada tanggal 16 Oktober 2010 atau tepat pada penutupan Paripurna sebelum masa reses anggota DPR.
Lebih jauh, Tjatur menjelaskan proses uji kelayakan calon Kapolri lebih cepat ketimbang calon pimpinan KPK lantaran sesuai dengan bunyi Undang-undang.

     Dalam Undang-undang Kepolisian dijelaskan bahwa fit and proper test dilakukan 20 hari setelah Presiden menyerahkan nama calon Kapolri atau berbeda dengan uji kelayakan calon pimpinan KPK yang baru dilaksanakan pada 30 hari setelah Presiden memberikan nama ke DPR.                                                                         
"Kita berpegangan kepada UU KPK dan UU Polisi di UU KPK pasal 30, DPR harus memilih pimpinan KPK definitif setelah menerima surat dari Presiden, yang kedua UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, 20 hari sejak surat dari presiden diterima, " jelasnya.
    Sebelumnya, Presiden telah mengirimkan satu nama calon Kapolri ke DPR. Mantan Kapolda Metro Jaya, Komjen Pol Timur Pradopo menjadi calon tunggal untuk menjadi Tribrata 1 atau sebutan lazim bagi Kapolri.
      TNI
Uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Panglima TNI yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Uji kelayakan dan kepatutan tersebut hari ini diikuti oleh Jenderal TNI Joko Santoso.
 Sebelum uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi I DPR digelar sempat dilakukan pertemuan tertutup antara pimpinan Komisi I DPR dengan calon Panglima TNI Jenderal TNI Joko Santoso. Dalam pemaparan visi misinya dihadapan Komisi I DPR, Joko mengatakan akan menjadikan TNI kedepan sebagai TNI yang solid, profesional, tangguh, modern, berwawasan kebangsaan serta mencintai dan dicintai rakyat. Namun ada beberapa ancaman potensial yang masih harus dihadapi oleh TNI.
Joko menambahkan kekuatan personil TNI sudah saatnya ditingkatkan. Idealnya TNI memiliki delapan ratus delapan puluh ribu personil. Sementara saat ini kekuatan personil TNI baik darat, laut dan udara baru mencapai tiga ratus delapan puluh tujuh ribu delapan ratus tujuh puluh personil. Saat ini Fit and Proper Test masih berlangsung dan memasuki materi pertanyaan dari tiga puluh anggota Komisi I DPR. (Sudrajat/Kiki Suhartono/Dv).
DPR juga melakukan uji kelayakan terhadap KSAL Lak samana agus Suhartono sebagai calon tunggal Panglima tni untuk menggantikan Jenderal Djoko Santoso yang memasuki pensiun pada 8 September.
II.2.      Untuk fungsi pertimbangan, tidak bersifat mengikat. Seperti dalam penunjukan duta besar, DPR hanya memiliki hak untuk memberikan pertimbangan.
Presiden berhak memaksa jika DPR menolak pejabat yang diajukan presiden.
II.3.    Untuk pejabat komisi negara, DPR memang memiliki hak untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Sebab, kelahiran komisi negara terkait dengan runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap alat negara. misalnya Komisi Yudisial (KY),Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU).
           Direncanakannya fit and proper tes KPU sebagai penyelenggara pemilu yang lahir karena ketidak percayaan publik terhadap institusi pemerintah dalam melaksanakan pemilu. Dalam hal ini bisa berkecamata pada tahun 1999 tidak bisa ditetapkan hasil pemilu akhirnya presiden yang ikut turun tangan.
           Tapi di sisi yang berbeda tidak menutup kemungkinan terjadi kong kali kong ketika kemudian di fit and proper test pemilihan ketua komisi pemilihan umum oleh DPR yang notabene adalah lembaga politik yang seharusnya komisi pemilihan umum (KPU) memang betul-betul KPU itu mandiri, bukan hanya orangnya tidak berasal dari parpol, tapi dia harus dibentuk tim seleksi yang khusus dari DPR, pemerintah dan digabung dalam tim itu yang betul-betul independen. Di samping itu DPR juga melakukan fit and proper test kepada pimpinan KPK, hal ini juga bisa terjadi dalam pemilihan pimpinan KPK yang kemungkinan bisa berbau politik yang seharusnya KPK independen,berdeka, dan tidak memihak, serta tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun dalam melaksanakan tugasnya serta dalam praktek pelaksanaan fit and proper test oleh DPR tidak menutup kemungkinan terbukanya luang terjadinya ajang transaksi kotor sebagai contoh pada proses pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank indonesia (Bi). anggota Komisi IX DPr periode 1999 2004 menerima cek perjalanan dengan total nilai Rp.24 miliar.
KOMISI YUDISIAL                   
Jakarta - Komisi III DPR mulai menguji kelayakan dan kepatutan 14 calon anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2010-2015. Seleksi dijadwalkan Senin 29 November, pukul 10.00 WIB. Ditargetkan seleksi rampung dalam waktu satu minggu.

           "Mereka membuat makalah, kemudian kita seleksi dari 14 menjadi 7, setelah itu baru kita pilih satu jadi ketua
          DPR sempat menuai kritik karena pemilihan komisioner KY seperti dianak tirikan, padahal pemerintah telah menyetorkan 14 calon anggota KY hasil kerja Pansel KY ke DPR pada 28 September 2010. DPR segera menjadwalkan fit and proper test anggota KY setelah Busyro Muqoddas resmi menjadi Ketua KPK.
Sementara itu anggota Komisi III dari Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menambahkan, sehubungan dengan seleksi komisioner KY sudah seharusnya kewenangan KY lebih diperkuat. Jika tidak, KY sama saja lembaga peradilan tanpa wewenang.

"Tanpa adanya penguatan kewenangan Komisi Yudisial, maka Komisi ini tidak lain hanyalah macan ompong semata
HAKIM AGUNG     
Proses fit and proper test sendiri dilakukan karena menindaklanjuti surat Komisi Yudisial No 41/P.KY/I/2010 tentang pengajuan calon hakim agung. Sementara itu menurut Ketua Komisi III Benny K Harman mudah- mudahan proses fit and proper tes menghasilkan proses kuantitatif dan kualitatif.
            Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menegaskan bahwa komisi yang dipimpinnya tidak akan memilih calon hakim agung yang merupakan titipan partai politik (Seputar Indonesia,15/2). Jika tidak sekadar pemanis bibir, pernyataan Benny tersebut tentu melegakan banyak kalangan yang concern atas proses pengisian calon hakim agung yang kini tengah berlangsung di DPR. Dikatakan demikian karena kecenderungan yang ada selama ini, titipan partai politik begitu dominan dalam pemilihan pejabat publik yang melewati mekanisme fit and proper test di DPR, termasuk dalam pemilihan hakim agung.
Sebetulnya,proses yang tengah berlangsung di Komisi III DPR bukan sekadar memilih hakim agung. Yang dilakukan DPR seharusnya mampu menghasilkan seorang hakim yang agung. Setidaknya,melihat wajah penegakan hukum Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, negeri ini memerlukan hakim agung yang nyaris “mendekati” malaikat. Jika gagal, hampir dapat dipastikan,proses seleksi di DPR tidak akan memberikan kontribusi positif atas wajah Mahkamah Agung ke depan.
Undang-UndangNomor3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menyatakan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dari semua kriteria tersebut, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela merupakan persyaratan kunci seorang hakim agung yang benar-benar agung.Selain itu, dikaitkan dengan syarat adil,tidak mungkin mendapatkan seorang hakim agung yang adil jika integritas dan kepribadian hakim agung bermasalah.
Kriteria berat yang diberikan UU No 3/2009 tersebut memberikan beban luar biasa berat kepada pihak yang diberi wewenang untuk melakukan proses seleksi calon hakim agung.Salah satu cara untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, Komisi III DPR harus mampu menelusuri rekam jejak (track record) calon hakim agung.
Tanpa rekam jejak yang lengkap,jangan pernah berharap akan hadir seorang hakim agung dengan integritas dan kepribadian tidak tercela. Dalam upaya menelusuri rekam jejak calon, sebetulnya kerja Komisi III sudah banyak terbantu oleh proses awal yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Sebagai kelanjutan proses yang dilakukan KY,Komisi III dapat menggunakan semua rekam jejak yang digunakan KY.
Namun itu tidak berarti Komisi III hanya terpaku dengan rekam jejak yang dimiliki KY.Untuk menghasilkan hakim agung yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, seharusnya Komisi III mampu mencari dan mendapatkan rekam jejak lain guna melengkapi data yang dimiliki KY.
Sebagai bagian dari upaya menelusuri rekam jejak calon hakim agung yang tengah mengikuti fit and proper test, Komisi III jangan sampai menutup diri dengan masukan pihak-pihak luar. Dalam pengertian itu, menjadi jauh lebih baik jika sebelum menentukan pilihan,setelah selesai fit and proper test, Komisi III bertemu dengan pihak-pihak luar yang mengikuti secara intensif proses yang tengah berlangsung di Komisi III. Dengan cara seperti itu, anggota Komisi III dapat mempersandingkan hasil mereka dengan hasil pengamatan dari luar. Jika hal itu dilakukan, hasil yang didapatkan akan lebih sempurna.
Mekanisme fit and proper test merupakan tahapan paling krusial sebelum calon ditetapkan sebagai hakim agung.Kegagalan menelusuri rekam jejak calon secara komprehensif potensial memberikan dampak buruk terhadap institusi terkait. Berkaca dari pengalaman pengisian komisioner KY, misalnya, kasus yang menimpa Irawady Joenoes bisa dicegah sejak awal jika proses seleksi di DPR mampu menelusuri rekam jejak yang bersangkutan secara benar dan komprehensif.
Bagaimanapun, sebagai sebuah lembaga yang diberi mandat konstitusional untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, perbuatan yang dilakukan Irawady Joenoes jelas memberikan beban berat bagi KY. Bahkan, secara jujur harus diakui,kasus tersebut memberikan imej negatif terhadap KY. Belajar dari pengalaman tersebut, Komisi III benar-benar dituntut bekerja superkeras dalam menelusuri rekam jejak calon hakim agung.
Selain karena faktor pengalaman itu, kehadiran hakim agung yang memenuhi persyaratan memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela menjadi sebuah keniscayaan di tengah upaya memperbaiki Mahkamah Agung.Bagaimanapun, tidak mungkin memperbaiki salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini jika integritas dan kepribadian hakim agung bermasalah.
Banyak kalangan percaya, jika hakim agung hadir dengan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, hakim-hakim yang ada di level yang lebih rendah akan berpikir ulang untuk melakukan tindakan yang dapat merusak wibawa penegakan hukum. Bagaimanapun, kewibawaan hakim agung akan menentukan wibawa dunia hukum kita. Hakim agung yang bermasalah akan memperburuk wajah penegakan hukum di negeri ini.
           Oligarki
Sebetulnya, ancaman paling serius dalam proses penelusuran rekam jejak calon hakim agung yang tengah berlangsung adalah mekanisme internal di Komisi III. Selain titipan partai politik sebagaimana disinyalir Benny K Harman, model penentuan pilihan juga di Komisi III tidak kalah penting dalam menghasilkan hakim agung. Selama ini, DPR tidak pernah berupaya memperbaiki proses pengambilan keputusan.
Sulit dibantah bahwa sistem paket yang dipraktikkan selama ini memberikan kontribusi besar memelihara dan melestarikan kepentingan partai politik dalam pengisian pejabat publik. Dengan sistem paket, koalisi pragmatis yang dibangun darurat menghadapi sebuah proses pengisian jabatan publik benar-benar menghancurkan objektivitas penentuan calon yang akan dipilih.
Masih segar dalam ingatan kita ketika figur yang dinilai bersih dan kredibel untuk menjadi komisioner KPK tersisih secara tragis di DPR. Catatan tersebut bisa ditambah dengan pengalaman proses pengisian pejabat publik lain yang menyisakan kontroversi di tengah masyarakat. Sejauh ini, terlalu banyak kritik yang dialamatkan pada sistem pemilihan paket tersebut, tetapi kritik itu tak ubahnya seperti teriakan di tengah gurun pasir.
Merujuk pengalaman tersebut, sulit menerima pendapat bahwa Komisi III tidak akan memilih calon hakim agung yang merupakan titipan partai politik. Bagaimanapun, dengan model pemilihan sistem paket,“koalisi” partai politik besar berpeluang memelihara oligarki partai politik besar dalam pengisian hakim agung. Hampir dapat dipastikan, calon yang tidak “berkomunikasi” dengan partai politik besar akan tersingkir dalam perebutan tiket menjadi hakim agung.
Dengan demikian, selama oligarki partai politik tidak segera diakhiri, jangan pernah berharap objektivitas dan akal sehat akan keluar sebagai pemenang. Lalu, mungkinkah kita berharap terpilihnya hakim agung yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela dengan proses yang sarat oligarki? Bagaimanapun, proses yang tengah berlangsung akan tetap menghasilkan hakim agung.
Namun tanpa adanya perubahan paradigma,proses fit and proper test yang tengah berlangsung di Komisi III DPR hanya akan memberikan peluang amat terbatas hadirnya hakim agung yang benar-benar agung. Perlu dicatat, hakim yang benar-benar agung hanya mungkin dihasilkan oleh sebuah proses yang berlangsung pula dengan agung.
Bank
Pada saat masa krisis melanda Indonesia, banyak bank berguguran dan ditutup oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan. Upaya pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank lainnya yang tidak ditutup dimulai dengan adanya retsrukturisasi kredit, pembentukan badan penyehatan perbankan nasional (BPPN). Terakhir dengan melakukan fit and proper test bagi pemegang saham pengendali, pengurus dan pejabat eksekutif bank. Maksud diadakannya fit and proper test ini adalah agar SDM yang menduduki manajemen bank berkualitas dan melaksanakan praktek-praktek good corporate governance, sehinga kinerja bank menjadi lebih baik dan tangguh.
Perkembangan perbankan di Indonesia mengalami pasang surut, dimulai dari adanya ketentuan deregulasi di bidang perbankan tahun 1988. Pemerintah memberikan kemudahan untuk mendirikan bank , cukup dengan setor modal sebesar Rp 10 milyar saja. Pada awal tahun sembilan puluhan telah berdiri 243 bank dengan jumlah kantor sekitar 9.000 . Pada saat itu pengururs kurang memperhatikan faktor pengelolahan bank dengan baik, bank dijadikan kasir untuk memenuhi kepentingan pemilik, sehingga dengan seenaknya memerintahkan pengelola bank untuk mengucurkan kredit kepada kroninya atau perusahaan yang terkait tanpa memperhatikan keamanan dan kemampuan untuk mengembalikan kreditnya. Akibat dari adanya hal tersebut berpengaruh terhadap kinerja bank yaitu banyak debitur yang tidak mampu membayar hutangnya baik bunga maupun pokok pinjaman yang akhirnya dikategorikan sebagai kredit macet, sehingga bank mengalami kerugian sampai pada batas yang maksimal menggrogoti modal setornya.
Untuk mengurangi atau meminimalkan kecurangan yang dilakukan manajemen / pengurus bank dan laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen lebih reliabel (dapat dipercaya) , Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang fit and proper test melalui PBI No 2/1/PBI tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dan telah diperbaruhi dengan PBI No 2/23/PBI/2000 tanggal 7 Nopember 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut dilakukan terhadap integritas pemegang saham pengendali , dan terhadap kompentensi serta integritas pengurus dan pejabat eksekutif bank.
Tujuan fit and proper test menurut PBI No 2/1/PBI adalah agar para pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola bank memenuhi kualitas dan kemampuan sebagai berikut:
1. Keahlian di bidang perbankan antara lain keahlian di bidang operasional, pemasaran , pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, dan atau hukum, yang berkaitan dengan bidang perbankan.
            2. Mampu melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian , keuangan dan perbankan, menginterprestasikan visi menjadi misi bank dan analisa situasi industri perbankan.
3. Tidak melakukan rekayasa yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan pelanggaran dari suatu ketentuan atau untuk mengaburkan kondisi keuangan dan atau transaksi yang sebenarnya.
4. Melaksanakan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya secara konsisten dan konsekuen
Haruska Penyusunan Kabinet di fit and proper test oleh DPR 
Berbeda Negara berbeda pula cara memaknai Kabinet Presidensiil. Dalam arti, berbeda dalam soal penyusunan maupun mekanisme persetujuan atas komposisi menteri di kabinet yang dipilih oleh Presiden terpilihnya.
Di Indonesia, penyusunan dan pengesahan kabinetnya, sepenuhnya merupakan hak prerogratif Presiden. Parlemen, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Daerah, tak mempunyai kewenangan sedikit pun berkaitan dengan penyusunan kabinet. Indonesia selama ini, relatif dapat dibilang sebagai tidak pernah mengenal adanya sistem oposisi. Zaman orde lama, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, maupun di masa orde baru pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, juga tidak dikenal adanya opisisi. Walau hanya direpresentasikan dengan 1-2 kursi menteri di posisi yang tidak penting, semuanya dirangkul didalam komposisi kabinet. Semangat itu merupakan penjelmaan dari semangat gotong royong, yang katanya merupakan budaya luhur bangsa ini. Bahkan di zaman orde lama, karena didorong oleh semangat ingin mensinergikan seluruh komponen bangsa, pernah dikenal adanya kabinet 100 menteri. Akan tetapi, walau tidak dikenal dengan gotong royong yang tidak mengenal adanya oposisi, namun juga belum pernah dikenal adanya campur tangan parlemen di dalam penyusunan kabinetnya. Sekalipun hanya dalam soal persetujuan dan pengesahannya. Terkecuali tentu saat diterapkan kabinet parlementer, sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno.
Sampai dengan saat ini belum pernah ada wacana yang mencoba mengusulkan peran DPR maupun DPD dalam soal penyusunan kabinet ini. Hal ini seyogyanya perlu dipikirkan mengingat posisi menteri juga sangat penting dalam mengendalikan arah kebijakan Negara. Akan tetapi, bahkan terkesan, malahan ada wacana yang merencanakan akan diadakan lagi amandemen terhadap UUD 1945 yang akan lebih ditekankan kearah pemberian hak lebih besar lagi kepada peran eksekutif, dengan pengurangan peran dari lembaga legislatif. Mungkin ini dikarenakan adanya phobia terhadap tingkah polah anggota parlemen pasca gerakan reformasi yang dinilai kebablasan ini, maka ada resistensi terhadap pemberian peran lebih besar kepada lembaga legislatif, dalam hal ini DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dalam pengelolaan kebijakan Negara.


                                                                                                              






BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
III.1 SIMPULAN
Fit and Proper Test sangat penting karena menentukan layak tidaknya seseorang menduduki suatu jabatan/posisi tertentu pada suatu lembaga atau instansi. Tapi di sisi yang berbeda dalam fit and proper test juga dapat membuka luang terjadinya transaksi kotor dan mengaburkan independensi suatu alat negara atau sebuah instansi.
III.2 SARAN
Saran dari penulis adalah agar fit and proper test ini terus dikembangkan karena masih jauh dari kesempurnaan dan kebenarannya masih bersifat relatif dan suatu saat nanti metode ini sudah digunakan di semua lembaga maupun instansi di Indonesia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar